Pokjaluh Kabupaten Boyolali berpose didepan kantor Kemenag

Bekerja profesional mengabdi kepada masyarakat

Pertemuan Ustadz-ustadzah MADIN

Pak Masud, S.Ag menyampaikan pertanyaan kepada narasumber

Seminar ESQ

Berpose bersama Narasumber Seminar ESQ

Pelantikan Pokjaluh dan FKPAI

Pelantikan Pengurus Pokjaluh dan Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kabupaten Boyolali oleh Kepala Kankemanag Kabupaten Boyolali

Anjangsana Keluarga POKJALUH

Untuk menjalin keakraban antara keluarga penyuluh mengadakan anjangsana setiap tahunnya.

Rabu, 15 April 2015

Sarasehan Antar Umat Beragama di Pendopo Alit Kabupaten

Rabu, 15-04-2015 di Pendopo Alit Kabupaten Boyolali diselenggarakan acara sarasehan antar umat beragama dengan mengambil tema "Radikalisme bertentangan dengan Ajaran Agama dan Nilai-nilai Kemanusiaan". Sarasehan ini dihadiri kurang lebih seratus orang dari unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas dan penyuluh agama Islam. Sebagai narasumber dalam sarasehan ini adalah Kapolres Boyolali, Komandan Kodim Boyolali dan ketua FKUB Kabupaten Boyolali.

Dalam penyampaiannya, Kapolres menjelaskan tentang radikalisme Islam, bahaya ISIS dan penanggulangannya. Sedang Komandan Kodim menyampaikan tentang wawasan kebangsaan supaya masyarakat tetap menjaga keutuhan NKRI.

KH. Habib Masturi selaku narasumber dan ketua FKUB mengatakan bahwa semua agama menolak adanya Radikalisme. Sarasehan ini diharapkan ke depannya juga menyertakan peserta dari kalangan pelajar atau mahasiswa. Sebab, sasaran dari radikalisme adalah pemuda.

Rabu, 08 April 2015

SUDAH TERUJIKAH IMAN KITA


Oleh: Drs. H. Ali Munawar
Khutbah Pertama
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
فَإِنْ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia!
  Pada kesempatan Jum’at ini, marilah kita merenungkan salah satu firman Allah dalam surat Al-‘Ankabut ayat 2 dan 3:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
   Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman kita, adalah kita harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada kita, untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan kita dalam menyatakan iman, apakah iman kita itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman kita didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan seperti yang digambarkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam surat Al-Ankabut ayat 10:
   Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”?
Hadirin jamaah Jum’at yang berbahagia!
   Bila kita sudah menyatakan iman dan kita mengharapkan manisnya buah iman yang kita miliki yaitu Surga sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala :
   Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah Surga Firdaus menjadi tempat tinggal. (Al-Kahfi 107).
   Maka marilah kita bersiap-siap untuk menghadapi ujian berat yang akan diberikan Allah kepada kita, dan bersabarlah kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan sindiran kepada kita, yang ingin masuk Surga tanpa melewati ujian yang berat.
   Apakah kalian mengira akan masuk Surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan keseng-saraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama-nya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguh-nya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al-Baqarah 214).
   Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang dulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana dituturkan kepada shahabat Khabbab Ibnul Arats Radhiallaahu anhu.
لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَيُوْضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مِفْرَقِ رَأْسِهِ فَيَشُقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ. (رواه البخاري).
... Sungguh telah terjadi kepada orang-orang sebelum kalian, ada yang di sisir dengan sisir besi (sehingga) terkelupas daging dari tulang-tulangnya, akan tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya, dan ada pula yang diletakkan di atas kepalanya gergaji sampai terbelah dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya... (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari, cet. Dar Ar-Royyan, Juz 7 hal. 202).
   Cobalah kita renungkan, apa yang telah kita lakukan untuk membuktikan keimanan kita? cobaan apa yang telah kita alami dalam mempertahankan iman kita? Apa yang telah kita korbankan untuk memperjuangkan aqidah dan iman kita? Bila kita memper-hatikan perjuangan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam dan orang-orang terdahulu dalam mempertahankan iman mereka, dan betapa pengorbanan mereka dalam memperjuangkan iman mereka, mereka rela mengorbankan harta mereka, tenaga mereka, pikiran mereka, bahkan nyawapun mereka korbankan untuk itu. Rasanya iman kita ini belum seberapanya atau bahkan tidak ada artinya bila dibandingkan dengan iman mereka. Apakah kita tidak malu meminta balasan yang besar dari Allah sementara pengorbanan kita sedikit pun belum ada?
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan Allah!
   Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda.
   Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya, setidak-nya ada empat macam ujian yang telah dialami oleh para pendahulu kita:
   Yang pertama: Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
   Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat 106).
   Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim Alaihissalam yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itupun dijalankan.
   Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim Shallallaahu alaihi wa salam dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berat itupun dijalankannya.
   Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh, Allah telah memerintahkan kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat) secara tegas untuk membedakan antara wanita Muslimah dan wanita musyrikah sebagaimana firmanNya:
   Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin” “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab, 59).
   Namun kita lihat sekarang masih banyak wanita Muslimah di Indonesia khususnya tidak mau memakai jilbab dengan berbagai alasan, ada yang menganggap kampungan, tidak modis, atau beranggapan bahwa jilbab adalah bagian dari budaya bangsa Arab. Ini pertanda bahwa iman mereka belum lulus ujian. Padahal Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam memberikan ancaman kepada para wanita yang tidak mau memakai jilbab dalam sabdanya:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا؛ قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا. (رواه مسلم).
   “Dua golongan dari ahli Neraka yang belum aku lihat, satu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu mereka memukul manusia, dan wanita yang memakai baju tetapi telanjang berlenggak-lenggok menarik perhatian, kepala-kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium wanginya”. (HR. Muslim, Shahih Muslim dengan Syarh An-Nawawi cet. Dar Ar-Rayyan, juz 14 hal. 109-110).
   Yang kedua: Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf Alaihissalam yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya.
   Sikap Nabi Yusuf Alaihissalam ini perlu kita ikuti, terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda, sehingga tak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan lagi. Di antara akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi, atau dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf Alaihissalam perlu ditanamkan dalam dada para pemuda Muslim. Para pemuda Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak ajakan untuk berbuat maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti sebagaimana sabdanya:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ... (متفق عليه).
   “Tujuh (orang yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” (HR. Al-Bukhari Muslim, Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari cet. Daar Ar-Rayyan, juz 3 hal. 344 dan Shahih Muslim dengan Syarh An-Nawawi cet. Dar Ar-Rayaan, juz 7 hal. 120-121).
   Yang ketiga: Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub Alaihissalam yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah:
   “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 51).
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayyub Alaihissalam untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 52). Begitulah ujian Allah kepada NabiNya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub Alaihissalam membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi Ayyub Alaihissalam ini.
Sidang jamaah rahima kumullah
   Yang keempat: Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang dialami oleh Rasulullah n di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam beserta Bani Abdul Muththolib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam untuk dibunuh. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat. (DR. Akram Dhiya Al-‘Umari, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1 hal. 182).
   Juga apa yang dialami oleh para shahabat tidak kalah beratnya, seperti apa yang dialami oleh Yasir z dan istrinya Sumayyah dua orang pertama yang meninggal di jalan dakwah selama periode Mekkah. Juga Bilal Ibnu Rabah Radhiallaahu anhu yang dipaksa memakai baju besi kemudian dijemur di padang pasir di bawah sengatan matahari, kemudian diarak oleh anak-anak kecil mengelilingi kota Mekkah dan Bilal Radhiallaahu anhu hanya mengucapkan “Ahad, Ahad” (DR. Akram Dhiya Al-Umari, As-Siroh An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1 hal. 154-155).
   Dan masih banyak kisah-kisah lain yang menunjukkan betapa pengorbanan dan penderitaan mereka dalam perjuangan mempertahankan iman mereka. Namun penderitaan itu tidak sedikit pun mengendorkan semangat Rasulullah dan para shahabatnya untuk terus berdakwah dan menyebarkan Islam.
   Musibah yang dialami oleh saudara-saudara kita umat Islam di berbagai tempat sekarang akibat kedengkian orang-orang kafir, adalah ujian dari Allah kepada umat Islam di sana, sekaligus sebagai pelajaran berharga bagi umat Islam di daerah-daerah lain. Umat Islam di Indonesia khususnya sedang diuji sejauh mana ketahanan iman mereka menghadapi serangan orang-orang yang membenci Islam dan kaum Muslimin. Sungguh menyakitkan memang di satu negeri yang mayoritas penduduknya Muslim terjadi pembantaian terhadap kaum Muslimin, sekian ribu nyawa telah melayang, bukan karena mereka memberontak pemerintah atau menyerang pemeluk agama lain, tapi hanya karena mereka mengatakan: ( Laa ilaaha illallaahu ) لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, tidak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan Allah dalam surat Al-Buruj ayat 4 sampai 8:
   “Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
   Peristiwa seperti inipun mungkin akan terulang kembali selama dunia ini masih tegak, selama pertarungan haq dan bathil belum berakhir, sampai pada saat yang telah ditentukan oleh Allah.
   Kita berdo’a mudah-mudahan saudara-saudara kita yang gugur dalam mempertahankan aqidah dan iman mereka, dicatat sebagai para syuhada di sisi Allah. Amin. Dan semoga umat Islam yang berada di daerah lain, bisa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa, sehingga mereka tidak lengah menghadapi orang-orang kafir dan selalu berpegang teguh kepada ajaran Allah serta selalu siap sedia untuk berkorban dalam mempertahankan dan meninggikannya, karena dengan demikianlah pertolongan Allah akan datang kepada kita, firman Allah.
   “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad: 7).
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ. وَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Hadirin jamaah Jum’at yang dimuliakan Allah!
   Sebagai orang-orang yang telah menyatakan iman, kita harus mempersiapkan diri untuk menerima ujian dari Allah, serta kita harus yaqin bahwa ujian dari Allah itu adalah satu tanda kecintaan Allah kepada kita, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam :
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ. (رواه الترمذي، وقال هذا حديث حسن غريب من هذا الوجه).
   “Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan (ujian), Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai satu kaum Ia akan menguji mereka, maka barangsiapa ridha baginyalah keridhaan Allah, dan barangsiapa marah baginyalah kemarahan Allah”. (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata hadits ini hasan gharib dari sanad ini, Sunan At-Timidzy cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, juz 4 hal. 519).

     Mudah-mudahan kita semua diberikan ketabahan dan kesabaran oleh Allah dalam menghadapi ujian yang akan diberikan olehNya kepada kita.  Amin.

Rabu, 01 April 2015

KAJIAN TAFSIR SURAT ‘ABASA


Oleh : Iwan Hafidz Zaini, S.HI

A.           Pendahuluan
Surat ‘Abasa merupakan surat Makkiyah, terdiri dari 42 ayat diturunkan sesudah surat an-Najm. Nama yang paling populer dari surat ini adalah surat  ‘Abasa atau yang bermuka masam. Surat ini dinamai pula dengan surat as-Shakhah (yang memekakan telinga), As-Safarah (para penulis Kalam Ilahi) dan surah al-‘Ama (sang tuna netra). Nama-nama tersebut terambil dari kata-kata yang terdapat dalam surat ini. Seorang pakar tafsir Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Alqur’an menamai surat ini dengan surat Ibn Umi Maktum karena awal surat ini turun berkenaan dengan kasus sahabat Nabi yang buta itu.
Surat 'Abasa dimulai dengan sebuah kritikan terhadap Nabi Muhammad saw. saat dirinya berpaling dari seorang sahabat tunanetra, bernama Ibn Umm Maktum, yang sangat berharap mendapatkan ilmu dan petunjuk dari Nabi. Saat itu, Rasulullah sedang sibuk menerima tamu dari kalangan pembesar Quraisy dengan harapan mereka akan memberikan respon yang baik atas ajakan dan dakwah beliau. Diharapkan, melalui para pemuka kaum itu, akan semakin bertambah kalangan yang akan memeluk agama Islam.
Ayat-ayat berikutnya mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat Tuhan yang diberikan kepada mereka semenjak lahir hingga ajal tiba. Sedang bagian akhir surat 'Abasa ini membicarakan tentang peristiwa hari kiamat. Ditegaskan dalam beberapa ayat bahwa manusia, kelak, hanya terpilah menjadi dua golongan saja. Pertama, orang-orang beriman yang bersukacita dan kedua, orang-orang kafir pembuat kejahatan

B.            Asbabun Nuzul
Suatu ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, sedang berbincang di sekitar Ka'bah bersama dengan bangsawan musyrik Quraisy di Makkah. Keberadaan Nabi  disana dalam rangka menjelaskan ajaran Islam kepada mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berharap dengan masuk Islamnya pada pembesar Quraisy itu dakwah Islam makin tersebar luas. Tiba-tiba seorang laki-laki buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum menerobos masuk perbincangan itu seraya berseru. "Wahai Rasulullah, ajarkan padaku apa-apa yang diajarkan Tuhanmu kepadamu." Karena matanya yang buta, Abdullah tidak mengetahui keadaan Rasulullah yang sedang serius berdakwah. Kedatangannya yang tiba-tiba dan disertai suara Abdullah yang lantang sangat mengganggu Rasulullah. Rona wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi kusut dan kening beliau tampak berkerut.
Akibat ulah Abdullah, Rasulullah berusaha tetap konsentrasi menghadapi para pembesar itu dan tidak menghiraukan ucapan si buta. Abdullah yang terus menerus mendesak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam agar mengajarinya tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya membuat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun semakin terlihat tidak senang dengan sikap Abdullah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditegur Allah karenanya
Saat itu pula Allah Subhanahu wa ta'ala menegur sikap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dalam firmannya:
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ ١  أَن جَآءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ ٢  وَمَا يُدۡرِيكَ لَعَلَّهُۥ يَزَّكَّىٰٓ ٣ أَوۡ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ ٱلذِّكۡرَىٰٓ ٤  أَمَّا مَنِ ٱسۡتغۡنَىٰ ٥ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ ٦  وَمَا عَلَيۡكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ ٧  وَأَمَّا مَن جَآءَكَ يَسۡعَىٰ ٨  وَهُوَ يَخۡشَىٰ ٩ فَأَنتَ عَنۡهُ تَلَهَّىٰ ١٠  كَلَّآ إِنَّهَا تَذۡكِرَةٞ ١١  فَمَن شَآءَ ذَكَرَهُۥ ١٢
Artinya: "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dari dosa) atau (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat baginya? Adapun orang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu bila dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk memperoleh pengajaran) sedang ia takut kepada Allah, maka engkau mengabaikannya. Sekali-kali jangan (berbuat demikian_. Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan adalah suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya". (Q.S. Abasa: 1-12).
C.           Kandungan Surat Abasa

Ayat 1- 16 surat Abasa ini Allah membicarakan teguran-Nya terhadap Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas bahwa asbabun nuzul surat ini adalah sebagai teguran Allah kepada Nabi Muhammad Saw yang telah mengabaikan kedatangan seorang tunanetra bernama Abdullah Ibn Ummi Maktum yang hendak meminta nasehat kepada Beliau. Nabi berpaling dari Abdullah karena sedang sibuk menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy Makkah yang salah seorang tokoh utamanya bernama Walid Bin Mughiroh. Beliau berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam dan tentunya akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam.
Penyebutan kata §t6tã (dhomir ghoib) yang tidak secara langsung menunjuk Nabi Saw., mengisyaratkan betapa halus teguran ini dan betapa Allah pun –dalam mendidik Nabi-Nya- tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Ini menurut al-Biqa’i, mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lakukan ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau sehari-hari yang sangat kasih kepada yang butuh dan selalu senang berada di tengah mereka. (Quraisy Shihab, 2002:71)
Kita sepakat bahwa kurang tepat bila memotong atau menginterupsi percakapan orang lain dan seseorang yang melakukan hal yang demikian akan dianggap kurang sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi S.a.w. maka hal itu sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Ummi Maktum adalah seseorang yang miskin dan buta yang melakukan pelanggaran terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi memandang tidak diharapkan bila Nabi mengabaikan orang semacam ini dan tetap berbicara dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat kepada orang miskin, maka penting untuk tidak membedakan mereka dalam majelis, bahkan si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya. Karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku kemanusiaan dengan akhlak mulia.
Ibnu Ummi Maktum, walaupun ia fakir dan buta mata tetapi ia tidak fakir iman dan buta hati. Ia lebih mampu memelihara diri dan mensucikannya dari dosa. Hatinya lebih tergugah dan terpanggil untuk tunduk kepada mauidhoh Allah dan Rasul-Nya. Adapun mereka yang bergelimang harta dan kekayaan, kebanyakan mereka adalah para pembangkang yang bodoh. Mereka tidak perlu didekati dan diperhatikan hanya karena mengharapkan mereka dan pengikutnya memeluk agama Islam. Dari sini, dapat dipetik suatu hikmah bahwa kekuatan manusia terletak pada kecerdasan nurani dan hatinya yang senantiasa hidup serta ketundukannya kepada kebenaran yang diyakininya.  (Al-Maraghy, 1993: 72)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang yang diperlakukan Rasulullah Saw tidak semestinya itu ternyata memiliki kesucian hati yang penuh dengan cahaya keimanan kepada Allah Swt. Ia dapat mensucikan dirinya dengan peringatan dan nasehat yang diterimanya dari Rasulullah Saw sehingga suci dari segala dosa. Karenanya peringatan dan nasehat Rasulullah kepadanya benar-benar bermanfaat bila dibandingkan dengan para pembesar Quraisy yang belum pasti dapat menerima ajakan Rasulullah SAW. Di sini Allah juga menegaskan bahwa apa yang ada dalam hati seseorang hanya dapat diketahui oleh Allah SWT .(Al-Biqa’I, 1992:251)
Atas teguran Allah dalam surat ini Rasul Saw akhirnya menggugurkan timbangan sosial yang ada di Arab pada waktu itu, yaitu penilaian berdasarkan kasta. Rasulullah menikahkan putrid bibu beliau, Zainab binti Jahsy Al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang bernama Zaid bin Haritsah, walaupun masalah perkawinan sangat sensitif saat itu. Rasul juga mempersatukan Salman Al-Farisi yang bukan berbangsa Arab dengan jamaah Islam sampai mengikis rasisme kulit.
Ayat-ayat ber­ikutnya menunjukkan ke­heranan terhadap sikap orang-orang yang berpaling dari petunjuk, tidak mau beriman, dan menyom­bongi dakwah ke jalan Tuhannya. Segmen ini me­nunjukkan keheranan terhadap sikap orang itu dan kekafirannya, yang tidak mau mengingat sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya. Juga yang tidak mau memperhatikan pemeliharaan dan per­lindungan Allah kepada dirinya dalam setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sejak per­tama hingga terakhir dan tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap Penciptanya, Penjaminnya, dan Penghisabnya.
قُتِلَ ٱلۡإِنسَٰنُ مَآ أَكۡفَرَهُۥ ١٧  مِنۡ أَيِّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥ ١٨ مِن نُّطۡفَةٍ خَلَقَهُۥ فَقَدَّرَهُۥ ١٩  ثُمَّ ٱلسَّبِيلَ يَسَّرَهُۥ ٢٠  ثُمَّ أَمَاتَهُۥ فَأَقۡبَرَهُۥ ٢١ ثُمَّ إِذَا شَآءَ أَنشَرَهُۥ ٢٢  كَلَّا لَمَّا يَقۡضِ مَآ أَمَرَهُۥ ٢٣
Artinya: “Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafiran­nya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani Allah menciptakannya dan menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Lalu, Dia me­matikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Apabila Dia menghendaki,Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan, manusia itu belum melak­sanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (‘Abasa: 17-23)
Kelompok ayat iini berbicara tentang keniscayaan hari Kemudian dan sikap manusia yang durhaka terhadapnya. Mereka mengingkari itu pastilah enggan memerhatikan al-Qur’an yang sifatnya demikian agung, sebagaimana diuraikan sebelum ayat-ayat diatas, karena sungguh binasalah manusia yang durhaka, alangkah amat sangat besar kekafirannya. Bukan saja pada banyaknya kekufuran, tetapi juga pada kualitas kekufurannya yang demikian mantab serta terjadi kapan dan dimana saja. Apakah yang membuatnya ingkar? Mengapa ia enggan percaya keniscayaan kiamat? Tidakkah ia berfikir dari apakah Allah menciptakannya? Tanpa menunggu jawaban, langsung saja dijawab, dari setetes mani yang kadarnya sangat sedikit dan terlihat menjijikkan.
Dari sesuatu yang tidak ada harganya sama sekali, dari bahan pokok yang tidak ada nilainya. Akan tetapi, Penciptanyalah yang menentukannya dengan menciptakan dan mengaturnya. Dia menentukannya dengan memberinya harga dan nilai, menjadikannya makhluk yang sempurna, dan menjadikannya makh­luk yang mulia, serta mengangkatnya dari asal-usul yang hina dan rendah ke tempat dan kedudukan tinggi yang untuknyalah bumi dengan segala sesuatunya diciptakan. Direntangkan untuknya jalan kehidupan, atau di­bentangkan untuknya jalan petunjuk, dan dimudah­kan baginya untuk menempuhnya dengan peralatan­-peralatan dan potensi-potensi yang diberikan-Nya, baik untuk menempuh kehidupan maupun menem­puh hidayah tersebut.
Hingga apabila perjalanan hidup sudah berakhir, maka selesailah kehidupan dan aktivitasnya sebagaimana yang dialami oleh semua makhluk hidup, tanpa ada pilihan lain dan tanpa dapat meng­hindar.
Maka, urusan kesudahannya ini seperti urusan­nya dalam permulaannya, berada di tangan Dzat yang telah mengeluarkannya kepada kehidupan dan menyudahi kehidupannya manakala Dia meng­hendaki. Juga menjadikan tempat tinggalnya di perut bumi, sebagai penghormatan baginya dan untuk memeliharanya. Dia tidak menyunnahkan untuk membiarkan tubuhnya dan anggota-anggotanya berserakan di muka bumi. Bahkan, Dia menjadikan insting manusia berkeinginan menutup dan me­ngubur mayat. Maka, semua ini termasuk peng­aturan dan penataan-Nya. Sehingga, apabila telah tiba waktu yang dike­hendaki-Nya, maka dikembalikanlah manusia itu kepada kehidupan untuk menghadapi urusan yang dikehendaki-Nya.
   فَإِذَا جَآءَتِ ٱلصَّآخَّةُ ٣٣  يَوۡمَ يَفِرُّ ٱلۡمَرۡءُ مِنۡ أَخِيهِ ٣٤   وَأُمِّهِۦ وَأَبِيهِ ٣٥   وَصَٰحِبَتِهِۦ وَبَنِيهِ ٣٦  لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُمۡ يَوۡمَئِذٖ شَأۡنٞ يُغۡنِيهِ ٣٧  وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ مُّسۡفِرَةٞ ٣٨   ضَاحِكَةٞ مُّسۡتَبۡشِرَةٞ ٣٩   وَوُجُوهٞ يَوۡمَئِذٍ عَلَيۡهَا غَبَرَةٞ ٤٠  تَرۡهَقُهَا قَتَرَةٌ ٤١   أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَفَرَةُ ٱلۡفَجَرَةُ ٤٢
Artinya: “Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak­-anaknya; maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 33-42)
Kata “as-shaakhkhah” (الصَّاخَّةُ) adalah lafal yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Bunyi yang sangat keras ini sebagai pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya.
Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan­-jalinannya. Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, ’nafsi-nafsi’ terfokus pada dirinya sendiri’, menakutkan diri yang bersangkutan, me­misahkannya dari segala sesuatu yang melingkupi­nya, dan menekannya dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak meninggalkan orang yang memiliki ke­lebihan dalam pemikiran dan usaha.
Begitulah keadaan semua makhluk pada hari yang sangat menakutkan itu, ketika telah tiba suara yang memekakkan. Kemudian dilukiskanlah keadaan orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka dinilai dan ditimbang dengan tim­bangan Allah di sana.
‘Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS. ‘Abasa: 38-39)
Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-­binar, tertawa-tawa, bergembira-ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena me­rasakan keridhaan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari bencana suara yang meme­kakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.
Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir surah. Bagian permulaan me­netapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir me­netapkan basil timbangan. Terasa pulalah keman­dirian surah yang pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya Dengan semua ini, sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut dan penyesalan, dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan pembalasan yang dinantikannya.
”Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka “.
Yang tidak mau beriman kepada Allah dan risalah-risalah-­Nya, melanggar batas-batas-Nya, dan merusak apa-­apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati. Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari celah-celah lafal dan kalimat Al­-Qur’an yang diungkapkan ini. Seakan-akan wajah­-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena kuatnya pengungkapan Al-Qur’an dan lem­butnya sentuhannya.

D.  KESIMPULAN

Dari pembahasan QS. ‘Abasa di atas bisa diambil kesimpulan bahwa:
1.      Tidak diperbolehkannya sikap diskriminatif dalam memberikan peringatan atau pun nasehat. Pada hakekatnya manusia sama di hadapan Allah. hanya ketaqwaan yang membedakan. Menilai seseorang bukan dari kekuatan harta kekayaan, pangkat, jabatan maupun keturunannya. Melainkan kekuatan seseorang itu terletak pada kecerdasan nurani  dan hati yang berpihak kepada kebenaran
2.      Manusia hendaknya memperhatikan dari apa ia diciptakan dan senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Karena kehidupan di dunia tidak langgeng. Ada hari kebangkitan.

·           Disampaikan dalam Rakor dan Pembinaan Pokjaluh Kankemenag Kab. Boyolali Selasa, 18 Desember 2012
DAFTAR PUSTAKA

as-Shawy al-Maliki, Ahmad , 1993, Hasyiyah A’la Tafsir al-Jalalain, Beirut:Dar al-Fikr
al-Maraghy, Ahmad Mustafa, 1993, Tafsir al-Maraghi , Semarang:Cv. Toha Putra
al-Biqa’iy, Burhanudin Abu al-Hasan Ibrahim ibn Umar, 1992, Nazhm ad-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar , Kairo:Dar al-Kitab al-Islamy
Shihab, M. Quraisy, 2002, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati


NIKMATI HIDUP DENGAN PAHALA



Oleh. Muhlis, S.Ag

Mari bersyukur kepada Allah dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan istighfar 3 x. Allah SWT telah berfirman dalam Surat An Nashr ayat 1-3 :
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١  وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣
1.      Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2.      Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
3.      Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.

Tidak lupa shalawat dan salam kita haturkan kepada Rasulillah SAW keluarga sahabat dan para pengikut-pengikutnya yang setia mengikuti sunnah-sunnahnya sampai hari akhir kelak.
Masih ingat doa ketika menghadiri akad nikah? Atau doa yang dilantunkan ketika kita menikah? Ya dalam pernikahan kita didoakan
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَ كُمَا فِى خَيْرٍ
“Semoga Allah memberikan barakah kepada mu (diwaktu senang) dan semoga Allah memberkahi kamu (diwaktu susah) mengumpulan kalian berdua dalam kebaikan.”
Ya ketika itu para hadirin, tamu, handai taulan, kerabat, teman-teman mendoakan agar kita senantiasa diberkahi Allah SWT dalam hidup kita. Berkah ketika senang (mendapat nikmat) berkah ketika susah (ketika mendapat ujian, masalah, musibah). Mungkin kita menganggap yang dinamakan berkah ya hanya ketika mendapat sesuatu yang menyenangkan kita. Ketika susah tak pernah kita terpikir bahwa disitu juga ada berkah yang bisa kita raih.
Mari kita pahami dulu apa itu barakah atau berkah.

Apa yang dimaksud dengan barakah atau berkah itu?

Berkah berasal dari kata اَلْبِرْكَة Al Birkah yang secara bahasa bermakna مَجْمَعُ الْمَاء  tempat tergenangnya air (kolam air). Kolam yang merupakan tempat tergenangnya air merupakan tempat yang luas, airnya banyak dan tetap.
Jadi اَلْبَرَكَة Al Barakah (keberkahan) adalah kebaikan yang banyak dan tetap pada sesuatu dan bersifat terus-menerus.

Kita memohon kepada Allah agar memberikan kebaikan yang banyak dan berlimpah, dalam nikmat yang telah Dia berikan kepada kita. Karena sedikit yang berkah, jauh lebih baik dari pada banyak, namun tidak berkah.

Diberkahi ketika senang, ketika mendapat nikmat, kelonggaran rejeki dan sebagainya dengan cara bersyukur. Menggunakan nikmat yang diberikan Allah sebagai sarana untuk beribadah.
Diberkahi ketika susah, ketika mendapat musibah, mendapat ujian dan sebagainya dengan sabar dan tawakal. Kita hadapi semua kesusahan dengan positif thinking,  prasangka yang baik khusnudhan kepada Allah. Kita yakini bahwa dengan ujian akan menaikkan derajat kita, membuat kita akan lebih matang dalam memahami makna hidup ini.

Dari sini maka merujuk pada وَبَارَكَ عَلَيْكَ  dan semoga Allah memberkahi kamu (diwaktu susah), maka ketika kita sedang susah, lagi menghadapi masalah termasuk mendapat masalah harus menghuni RUMAH TAHANAN NEGARA Boyolali ini kita bisa mengambil berkah, kebaikan ketika harus jadi penghuni Rutan.

Dengan khusnudhan, apapun dan bagaimanapun keadaan kita tidak akan menghalangi kita untuk beribadah dan menggapai pahala. Ditempat ini sebagai tempat untuk insropeksi diri, sebagai titik balik untuk menjadikan diri kita lebih baik dan lebih bermartabat.
Di Rutan ( majlis ) ini banyak saudara kita. Kita gunakan majlis ini untuk berkumpul, bersyarikat, bersama-sama, berjamaah dalam menggapai pahala. Karena Rasulullah SAW telah bersabda

اَلدَّا عِى وَالْمُؤَ مِّنُ فِى اْلاَ جْرِ شَرِ يْكَا نٍ . وَالْقَا رِئُ وَالْمُسْتَمِعُ فِى اْلاَ جْرِ شَرِ يْكَا نٍ. وَالْعَا لِمُ وَالْمُتَعَلِّمُ فِى اْلاَ جْرِ شَرِ يْكَا نٍ (روه الد يلمى)

Orang yang berdoa dan orang yang mengamini di dalam pahala adalah berserikat (sama-sama mendapat pahala)  orang yang membaca (Al Quran) dan orang yang mendengarkan di dalam pahala adalah berserikat (sama-sama mendapat pahala)    orang yang mengajar dan yang belajar di dalam pahala adalah berserikat (sama-sama mendapat pahala) 

Atas dasar ini dapat kita ketahui betapa mudahnya menggapai pahala.
Di tempat ini kita manfaatkan untuk majlis dzikir, majlis ilmu. Di majlis seperti ini ketika ada seorang yang berdoa, lalu yang lain mengamini maka baik yang berdoa maupun yang mengamini sama-sama mendapat pahala.

Dengan hadis ini juga kita ketahui bahwa doa bersama itu boleh, dan bahkan utama.
Orang yang membaca Al Quran dan yang mendengarkan sama-sama mendapat pahala. Maka ketika merasa belum bisa membaca Al Quran ingin mendapat pahala Al Quran ikutlah majlis tilawatil quran.

Orang yang mengajar dan yang belajar sama-sama mendapat pahala. Maka sudah semestinya ketika ada kegiatan pengajian, majlis dzikir kita  berupaya mengikutinya. Walaupun kita belum bisa mengajar, menyampaikan ilmu, ceramah agama tetap akan mendapat pahala dari majlis ilmu.
Jadi betapa mudahnya kita menggapai kebaikan, berkah dan menggapai pahala dari Allah SWT.
Oleh karena itu tidak perlu terlalu berkecil hati, apa bisa saya mencari pahala dalam keadaan seperti ini, di tempat ini di Rutan ini. Tapi bukan berarti harus selamanya anda di rutan ini.
Mari mohon ampun pada Allah SWT dengan membaca istighfar bersama-sama. Agar Allah mengampuni kita. Agar Allah memberikan jalan keluar yang terbaik terhadap masalah yang menimpa kita

Astaghfirullah rabbal baraya.....

materi kultum  di MT Rumah Tahanan Negara Boyolali 1 April 2015
Diberdayakan oleh Blogger.