Senin, 23 Maret 2015

Khotbah Jum'at = Diterimanya Amal

Oleh : Iwan Hafidz Zaini, S.HI

Hadirin Jamaah Jum’at yang dimulyakan Allah
Marilah pada siang hari ini kita senantiasa memanjatkan syukur dan menambahkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt dengan melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.

Hadirin Jamaah Jum’at yang dimulyakan Allah
Manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah kepada-Nya

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku

Kita beribadah bukan hanya masalah hubungan dengan Tuhan (hablumminallah) saja. Tetapi juga hubungan kita terhadap sesama manusia (hablumminannas). Ibadah kita terhadap Allah yaitu dengan cara mentaati segala perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Sedangkan wujud ibadah kita terhadap sesama adalah dengan berbuat baik (ihsan), saling berbagi (sedekah,zakat), saling tolong menolong dalam kebaikan (ta’awun ‘alal bir), memuliakan tamu (ikrom dzoif), dan lain sebagainya. Jika hidup kita ini dipenuhi dengan kegiatan ibadah, tentu saja Allah akan memberikan penghargaan (reward) atau pahala. Sebaliknya, jika hidup kita inkar kepada Allah dengan melakukan kemaksiatan maka akan mendapat hukuman (punishmen) atau siksa.

Ma’syirol muslimin rohimakumullah
Tentunya kita semua ingin mendapat pahala. Jika demikian, kita harus memperbanyak beribadah atau beramal shalih. Akan tetapi, walaupun sepertinya kita melakukan ibadah tetapi hal tersebut malah tidak diterima atau tidak dipandang oleh Allah sebagai amal ibadah.
Tentunya kita tidak ingin amal ibadah yang kita lakukan sia-sia atau tanpa hasil dan tidak ada pahalanya. Adapun perkara yang bisa menyebabkan ibadah kita diterima oleh Allah Swt sebagaimana yang disebutkan oleh Syeckh Abdul Qodir Jaelani dalam kitab Al-Ghunyah adalah:

1.        Taubat
Syarat utama diterimanya ibadah adalah bertaubat. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri
Taubat adalah kembali taat kepada Allah dan menyesal dengan bersungguh-sungguh terhadap dosa yang telah dilakukan serta memohon ampunan dari Allah. Hukum taubat adalah wajib. Baik itu dosa terhadap Allah maupun dosa terhadap sesama manusia. Jika dosa itu berkaitan dengan manusia, hendaklah ia meminta maaf.

2.    Ikhlas
Perkara yang menyebabkan diterimanya amal adalah ikhlas. Sebagaimana firman Allah:
 وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ikhlas. Al-Hasan berkata : Aku bertanya kepada Khudzaifah tentang makna ikhlas dan ia menjawab, “Saya juga bertanya kepada Nabi tentang apakah itu ikhlas dan beliau menjawab, “Aku telah bertanya kepada Jibril tentang apakah itu ikhlas dan Jibril menjawab, “Saya telah bertanya kepada Allah tentang ikhlas dan Allah berfirman, “Ikhlas adalah salah satu rahasiaKu yang Aku titipkan kepada hati orang-orang yang Aku cintai.”

Sa’id bin Jubair berkata, ikhlas adalah seorang hamba memurnikan agama dan amalannya hanya untuk Allah, tidak menyekutukan Allah dan tidak memamerkan amalnya kepada seorangpun. Adapun tanda keikhlasan menurut Dzun Nun al-Mishri adalah pertama, orang yang bersangkutan memandang sama antara pujian dan celaan manusia. Kedua, melupakan amal yang ia lakukan. Ketiga, lupa atas haknya menerima pahala di akherat karena amal tersebut.

Menurut Imam Al-Ghazali ikhlas itu ada 3 tingkatan. Pertama, ikhlas awam. Yakni, ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada siksaan-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya. Kedua, ikhlas khawas, yaitu ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan Allah dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan ‘sesuatu’ dari-Nya. Ketiga, ikhlas khawas al-khawas, yaitu ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dialah Tuhan Yang Maha Segala-galanya.

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia
Sifat dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat menjauhkan diri dari godaan setan. Menurut At-Thobari, hamba yang muhlis adalah orang-orang mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan dibujuk rayu dan diprovokasi setan.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziah mengatakan, “Amal tanpa keihklasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat. Oleh sebab itu, selain menjadi kunci diterimanya amal ibadah, ikhlas juga membuat perbuatan kita bermakna dan tidak sia-sia. Perbuatan yang bermakna adalah perbuatan yang berangkat dari hati yang ikhlas.

Di ceritakan, ada seorang ahli ibadah yang mengunjungi suatu kaum, kaum itu mengadu kepadanya bahwa di tempat mereka itu ada pohon yang sering disembah penduduk, mereka tidak menyembah Allah. Ahli ibadah (abid) itu marah, lantas ia membawa kampak akan menebang pohon itu. Iblis (nenek moyang setan) dalam bentuk seorang syekh menyambutnya dan berkata, “Hendak kemana kamu, mudah mudahan Allah merahmati kamu.” Ahli ibadah itu menjawab, “Saya hendak menebang pohon ini.” Iblis berkata, “Apa urusanmu dengan pohon itu, kamu telah meninggalkan ibadahmu.” Ahli ibadah itu menjawab, “Sesungguhnya ini sebagian dari ibadahku.” Iblis berkata, “Aku tidak membiarkanmu menebangnya.”
Lantas iblis itu berkelahi dengan ahli ibadah itu. Ahli ibadah itu berhasil menangkap iblis itu dan membantingnya ke tanah dan didudukinya iblis itu. Iblis berkata, “Lepaskan aku agar aku dapat berbicara denganmu.” Ahli ibadah itu berdiri, lantas iblis berkata, “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajibanmu menebang pohon itu; menebang pohon itu adalah tugas nabi, bukan tugasmu kecuali bila nabi menyuruhmu.” Abid itu menjawab, “Aku akan menebangnya.

Kemudian abid berkelahi kembali dengan iblis itu dan ia berhasil membantingnya ke tanah dan menduduki dada iblis itu. Maka iblis berkata, “Apakah tidak ada keputusan yang lebih baik untuk menyelesaikan urusan kita?” Abid bertanya, “Apa itu?”
“Lepaskan dahulu aku” kata iblis itu “supaya aku dapat mengatakan sesuatu kepadamu.” Abid melepaskannya. Iblis itu berkata, “Kamu adalah orang miskin yang bergantung pada orang lain, maukah kamu melebihi orang-orang itu sehingga kamu dapat membantu tetanggamu, kamu kenyang dan tidak lagi memerlukan bantuan orang lain.” Abid menjawab, “Ya.” “Pulanglah..” kata iblis “aku akan menyelipkan di bawah bantalmu dua dinar setiap malam. Uang itu bisa membantu tetanggamu sehingga kamu lebih berguna bagi saudaramu, itu lebih baik dari pada kamu menebang pohon itu.” Abid kemudian berpikir dan ia berkesimpulan “Syekh itu benar, saya bukan seorang nabi, Allah tidak mewajibkan saya menebang pohon itu, nabi pun tidak, menerima uang lebih bermanfaat bagi orang banyak ketimbang menebang pohon itu.” Lantas Abid itu kembali ke tempat ibadahnya. Pagi pagi ada dua dinar dekat kepalanya, ia mengambilnya, begitu juga keesokan harinya. Pada pagi hari yang ketiga uang itu tidak ada.

Abid itu marah, ia mengambil kampaknya lagi hendak menebang pohon itu. la disambut iblis yang menyamar seorang syekh. Syekh (sebenarnya iblis) bertanya, “Kemana?” Kata abid “Saya akan menebang pohon itu.” Iblis berkata, “Kamu berdusta, kamu tidak akan mampu melakukannya.” Lalu abid itu memegang iblis tersebut hendak menangkapnya. Kata iblis, “kamu tidak akan sanggup.” Bahkan iblis yang sanggup membanting ahli ibadah itu dan menduduki dadanya sambil berkata, “Akan kamu teruskan menebang pohon itu atau aku akan menyembelihmu.

Iblis berkata, “Hai ahli ibadah, maukah kamu tahu mengapa kau kalah?” Kata iblis, “Sesungguhnya mula-mula kamu marah karena Allah, lalu aku kalah, kali ini kamu marah karena uang (dunia) lalu kamu saya kalahkan.

Dalam cerita di atas ikhlas itu ialah melakukan sesuatu karena Allah, bukan karena uang. Karena Allah artinya karena diperintah oleh Allah. Cerita ini membenarkan firman Allah Kecuali hamba-hambaKu yang ikhlas (Shaad:83). Maksudnya, hanya hambaKu yang ikhlas yang tidak akan kalah melawan setan.


3.    Tidak Riya’
Riya’ adalah sifat kebalikan dari ikhlas. Riya’ adalah melakukan amal kebajikan namun tidak untuk mencari keridhaan Allah, melainkan untuk mencari pujian atau kemasyhuran dari masyarakat. Selama roh masih bersemayam dalam tubuh tidak ada jaminan manusia aman dari perbuatan riya’. Riya’ dapat selalu menjangkiti siapapun. Tidak peduli itu orang yang berilmu atau tidak, orang kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau rendah. Semua bisa terkena sifat riya’.

Allah Swt dengan tegas mengancam para pelaku amal kebaikan yang didasari atas sifat riya’. Allah memperingatkan agar kita berhati-hati terhadap godaan dan tipuan nafsu yang dapat menyebabkan kita terjebak dalam perbuatan riya’.

Allah berfirman:
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥  ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦  وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ ٧
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maun:4-7)

Sifat riya’ bisa termasuk perbuatan syirik. Sebagaimana hadits dari Syaddad bin Aus Ra. Berkata : Aku mendatangi Nabi dan ku lihat diwajahnya terbersit sesuatu yang mengkhawatirkanku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu resah?” beliau menjawab, “Aku khawatir sepeninggalku umatku berbuat syirik.” Aku bertanya lagi, “Apakah mungkin sepeninggalmu mereka akan berbuat syirik, wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Memang mereka tidak menyembah matahari, bulan, patung dan batu. Namun mereka riya’ dalam amal-amal mereka dan riya’ adalah perbuatan syirik”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ, فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ: الرِّيَاءُ.
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil.”
Ketika ditanya tentang (syirik kecil) itu, beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy)
Oleh sebab itu, marilah kita menjauhi sifat riya’ ini dengan benar-benar memurnikan amal kita karena Allah supaya amal ibadah kita diterima Allah Swt.
Akhir kata, mumpung kita masih diberikan kenikmatan hidup, kita pergunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Yaitu, dengan beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya.






0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.